robi ismail


maaf, untuk kali ini masih tetap copas hehehe...
Agar komunikasi bisa sukses, para pelaku komunikasi harus memperhatikan dan menerapkan prinsip komunikasi empatik berikut.
Keseluruhan, bukan sebagian
Dalam berkomunikasi, cobalah terlebih dahulu mencari informasi yang selengkap-lengkapnya sebelum memberikan komentar. Jika kita hanya memiliki sepenggal informasi, jangan langsung membentuk opini dan menyatakan pendapat berdasarkan informasi yang belum lengkap tersebut.
Intinya, al-ilmu qobla qaul wa ‘amal. Ilmu dulu baru bicara dan bertindak. Ucapan dan tindakan tanpa ilmu yang jelas akibatnya berbahaya. Jadi, yang perlu kita lakukan adalah melengkapi informasi yang kita miliki dengan bertanya kepada pihak-pihak yang mengetahui tentang apa yang akan kita komunikasikan, ataupun aktif mencari informasi tambahan yang diperlukan sehingga kita info yang akan kita komunikasikan pun lebih lengkap.

Berusaha mengerti, baru dimengerti
Simak contoh ini, seorang da’i datang ke pedesaan. Karena baru saja lulus dari pesantren, ketika mengisi kajian, bahasa da’i ini ‘canggih’ banget. Istilah-istilah berbahasa Arab keluar begitu saja tanpa ada penjelasan maknanya. Penduduk desa manggut-manggut tidak paham. Akhirnya, penduduk desa pun malah emoh terhadap da’i yang sebenarnya berilmu ini.
Ini termasuk kegagalan berkomunikasi. Sering banget kita menuntut untuk dimengerti tanpa menuntut diri kita untuk mengerti dulu pihak yang kita ajak komunikasi.
Dalam berkomunikasi, ada baiknya bagi kita untuk terlebih dahulu mencoba mengerti, sebelum menuntut untuk dimengerti. Dengan mengerti permasalahan yang sebenarnya, serta mengerti siapa lawan bicara, akan lebih mudah bagi kita memahami apa yang dikomunikasikan orang tersebut, dan akan lebih mudah pula bagi kita untuk memberikan pendapat, masukan yang mudah dimengerti lawan bicara.
Dalam contoh di atas, jika sang da’i terlebih dahulu mencoba mengerti objek dakwahya, apakah objek dakwahnya sudah paham dengan istilah-istilah berbahasa Arab, dan sebagainya, maka tentunya dalam mengkomunikasikan dakwahnya, ia bisa menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami.

Diagnosa sebelum respon
Lebih spesifik lagi berkaitan dengan mengerti sebelum dimengerti adalah mendiagnosa permasalahan dengan baik sebelum memberikan respon. Coba bayangkan, jika Anda merasa demam lalu pergi ke dokter. Anda lalu didiagnosa kena flu, padahal Anda punya gejala-gejala lain yang menandakan Anda terkena tipus. Gara-gara diagnosa yang nggak tepat, obat yang Anda minum pun nggak tepat buat penyakitmu. Akibatnya berbahaya pada dirimu.
Sebelum kita memberikan pendapat, masukan atau jawaban, diagnosis terlebih dahulu secara teliti permasalahan yang dihadapi lawan bicara. Kadang, kita terlalu terburu-buru memberikan respon. Baru mendengar permasalahan lawan bicara sedikit saja, kita sudah merasa sok tahu tentang kelanjutannya sehingga kita sudah pasang kuda-kuda lalu segera memberi respon. Padahal, masalah tiap orang bisa spesifik banget, sehingga kita hendaknya jangan sok tahu dulu untuk memberi respon.
Baru setelah kita tahu permasalahannya dengan jelas, kita bisa lebih mudah untuk membantu memberikan jawaban, solusi, ataupun masukan yang diperlukan lawan bicara.

Keyakinan
Jika kita tersesat dan bertanya kepada orang yang kita temui di jalan tentang alamat yang kita cari, orang tersebut memberikan informasi tetapi ia tidak terlihat yakin akan informasi yang diberikannya kepada kita. Apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan mengikuti petunjuk yang diberikan orang tersebut?
Jika kita pergi ke toko obat, dan si penjual menawarkan obat yang kita perlukan. Tetapi ketika ditanya apakah obat tersebut manjur, si penjual tidak memberikan jawaban yang meyakinkan. Apakah kita akan membeli obat yang ditawarkan tersebut?
Jawaban dari kedua situasi di atas kemungkinan besar adalah ”tidak.” Pada dasarnya, kita cenderung lebih percaya kepada orang yang memiliki dan menunjukkan keyakinan diri tinggi. Jadi, jika kita berkomunikasi, pastikan apa yang kita komunikasikan benar-benar kita kuasai dengan baik, dan benar-benar kita yakini kebenarannya. Jika kita sudah yakin, akan lebih mudah bagi kita untuk meyakinkan orang lain.

Fokus pada orang lain
Unsur dalam empati adalah memperhatikan orang lain. Kalo gitu, dalam komunikasi empatik, unsur ini pun punya peranan penting. Ketika berkomunikasi, jika perhatian terfokus pada diri sendiri melulu, kegagalan komunikasilah yang akan terjadi.
Kita perlu lebih memfokuskan perhatian kita pada orang yang kita ajak berkomunikasi, bukannya pada diri sendiri melulu. Dengan memberikan fokus perhatian kepada orang lain, maka orang merasa kita memperdullikan mereka. Selanjutnya, kalau orang merasakan kita memang memberikan perhatian, kepedulian, dan rasa hormat kepada mereka ketika mereka berbicara ataupun menyampaikan pendapat, maka mereka akan juga bersedia mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang akan kita komunikasikan kepada mereka.
Dengan memfokuskan perhatian kepada orang lain, kita bisa lebih mudah memahami siapa lawan bicara kita (apa keinginan mereka, apa permasalahan mereka, apa yang mereka perlukan dari kita). Jika kita telah memahami mereka, tentunya kita bisa mengkomunikasikan apa yang kiranya dapat menarik perhatian mereka, dan apa yang kiranya mau mereka terima, ataupun dukung.

Kontak mata
Kontak mata merupakan bagian yang penting dalam berkomunikasi. Dengan melibatkan kontak mata dengan orang yang kita ajak bicara, kita memberi kesan dan pesan kepada orang tersebut bahwa kita sungguh-sungguh terhadap apa yang kita komunikasikan.
Kesungguhan kita ini tentunya akan mendorong lawan bicara memperhatikan dengan seksama apapun yang kita komunikasikan. Mereka juga lebih percaya kepada kita karena kesungguhan yang kita perlihatkan, sehingga akan lebih mudah bagi mereka untuk memahami atau melakukan apapun yang kita anjurkan kepada mereka.
Tentu, beda masalahnya jika yang kita ajak bicara adalah lawan jenis. Kalo dengan lawan jenis, kontak mata yang terjadi bisa menimbulkan bahaya yang lain.

Senyum Hangat
Senyum merupakan sedekah yang murah, meriah, dan mudah. Rasulullah r adalah orang yang murah senyum dan menganjurkan senyum dengan wajah berseri untuk saudara kita yang lain.
Senyuman memang merupakan senjata yang paling ampuh yang dapat digunakan untuk membuka komunikasi. Senyuman yang tulus dan hangat dapat mengatasi berbagai hambatan dalam komunikasi, misalnya: ketegangan, kecurigaan, kemarahan, kecemburuan.
Sebuah senyuman juga merupakan indikasi kita memiliki emosi positif terhadap orang yang kita ajak berkomunikasi. Jika lawan bicara merasa kita memang ”suka” berkomunikasi dengannya, akan lebih mudah bagi orang tersebut menerima masukan, pendapat, ataupun solusi yang kita tawarkan kepadanya.

Saling Menyukai

Komunikasi juga akan lebih efektif, jika orang-orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut saling menyukai. Menyukai orang lain yang kita ajak berkomunikasi merupakan awal kemampuan berkomunikasi yang efektif.
Menyukai dan disukai, tidak bisa terjadi dalam sekejap. Memang harus ada saling mengenal, saling memahami, dan saling menolong. Semakin banyak interaksi dalam hal-hal yang positif ini, maka ornag yang kita ajak berkomunikasi akan semakin mudah untuk mengerti, menerima, dan mempercayai semua yang kita komunikasikan kepadanya.

selengkapnya.....
robi ismail

"SUDAHLAH! Jangan ngoyo, kita nggak akan berhasil!" Kata-kata seperti ini mungkin pernah kita dengar pada saat orang atau kelompok orang menyusun rencana dan target kerja.

Ada dua kemungkinan mengapa kata-kata ini keluar dari mulut seseorang. Pertama, rencana yang dibuat memang tak realistis. Kedua, ada orang yang selalu memandang berat setiap masalah. Alasan kedua inilah yang biasa disebut sebagai sikap pesimis.


Sikap pesimis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang telah terjangkiti virus pesimis selalu merasa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu berada dalam ketidakberdayaan menghadapi masa depan.

Penyakit pesimis dapat terbangun akibat proses pendidikan yang kurang baik: bisa dari masa kecil atau akibat peristiwa sesaat yang sangat menyakitkan. Penyebab pertama, biasanya akan lebih sulit diperbaiki, karena pesimisme telah menyatu dalam kepribadian orang tersebut. Mereka memiliki konsep diri yang kurang baik dan memiliki pandangan yang buram terhadap kehidupan dan masa depan nya. Sedang pesimisme yang terjangkit akibat pengalaman pahit, lebih mudah diatasi sejauh orang tersebut dapat menata kembali target dan langkah-langkahnya dalam mencapai target tersebut.

Berikut beberapa-hal yang dapat menumbuhkan perasaan pesimistis dalam diri seseorang:

1. Terlalu sering dibantu. Anak yang tumbuh dalam suasana sering dibantu seringkali tak dapat mengenali kemampuannya. Ia akan sering mengatakan, "Saya tak bisa." Ini terjadi karena anak tak dibiarkan menghadapi kesulitan sedikitpun. Ketika si anak mengeluh tentang sulitnya ‘PR’ dari sekolah, orang tua lantas mengambil alih PR tersebut. Ketika anak menghadapi masalah dengan mainannya, orang tua segera mengatasi masalah tersebut. Dalam jangka panjang, anak ini akan tumbuh sebagai orang yang merasa tak mampu menghadapi kesulitan. Ia akan selalu mengharapkan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah-masalahnya. Manakala bantuan itu tak ia peroleh, ia pun merasa tak dapat berbuat apa apa.

2. Terlalu sering dilecehkan. Orang yang dalam masa pertumbuhannya seringkali dilecehkan akan menganggap dirinya menjadi orang terbodoh se-dunia. Keadaan ini tentu membuatnya memandang buram potret diri dan masa depannya. Ia juga akan merasa tak mampu mengatasi persoalannya sendiri.

3. Sikap negatif terhadap kegagalan. Kalau kita lihat dalam keseharian, ada orang yang merasa selalu ditimpa kegagalan. Pada kenyataanya, tak ada seorang pun di dunia ini yang selalu gagal dan tak pernah berhasil. Masalahnya adalah bagaimana ia menyikapi kegagalan. Ada orang yang merasa begitu hancur ketika ditimpa kegagalan. Kegagalan menjadi peristiwa yang amat besar dalam hidupnya, sebab keberhasilan tak pernah ia syukuri sedikitpun. Akibatnya, ia merasa sebagai pecundang, bodoh dan tak punya masa depan.

4. Dampak optimisme berlebihan. Optimisme berlebihan seringkali menyisakan pengalaman pahit dalam diri seseorang. Pengalaman ini membuat orang tak lagi bergairah membicarakan target-target yang telah gagal itu. Orang seperti ini menghadapi trauma untuk membicarakan hal tersebut. Keadaan seperti ini tentu akan menyulitkan bagi orang tersebut untuk bangkit dari kegagalan. Ia akan lebih tertarik untuk membicarakan dan memulai hal-hal baru daripada mengulang kembali pengalaman pahit tersebut.

Pesimisme, baik yang dialami oleh individu maupun kelompok, memang harus diatasi. Namun, dibutuhkan keteguhan dalam membatasi masalah kejiwaan yang satu ini, karena pesimisme terbangun dari pengalaman dan kita tak bisa mengubah hal-hal yang telah terjadi. Ada bebarapa hal yang mungkin dilakukan untuk membangun kembali optimisme kita:

1. Temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu, sepahit apapun pengalaman itu. Dalam kegagalan, sekalipun masih ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang terselip, cobalah temukan keberhasilan itu dan syukuri keberadaannya. Upaya ini paling tidak akan mengobati sebagian dari perasaan hancur yang kita derita. "Tapi bagaimanapun saya telah gagal" Buang jauh-jauh pikiran tersebut, karena pikiran tersebut tak akan membantu kita dalam meraih nikmat Allah berikutnya. Allah hanya akan menambahkan nikmatNya pada orang yang mau mensyukuri pemberianNya meskipun nikmat itu sedikit.

2. Tata kembali target yang ingin kita capai. Jangan terbiasa membuat target yang berlebihan. Kita memang harus optimis, tapi kita perlu juga mengukur kemampuan diri sendiri. Kita juga perlu menelaah lebih jeli cara apa yang mungkin kita lakukan untuk mencapai target tertentu. Cara Irak menghadapi agresor/penjajah AS mungkin dapat dijadikan contoh. Dari awal Irak tak mengatakan akan menang dalam pertempuran. Tapi mereka hanya mengatakan "AS akan menghadapi kesulitan jika berhadapan dengan tentara dan perlawanan rakyat Irak." Irak pun menghitung-hitung dalam medan mana ia dapat memberikan perlawanan yang sengit terhadap para agresor/penjajah tersebut. Mungkin Irak berusaha memenangkan pertempuran di medan opini dunia dan jalur diplomatik. Ini adalah satu contoh bagaimana sebaiknya menetapkan target dengan melihat kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki.

3. Pecah target besar menjadi target-target kecil yang dapat segera dilihat keberhasilannya. Seringkali ada manfaatnya untuk melihat keberhasilan-keberhasilan jangka pendek dari sebuah target jangka panjang. Hal ini akan semakin menumbuhkan semangat dan optimisme dalam diri kita. Tentu kita harus terus mensyukuri apa yang kita peroleh dari capaian target-target kecil tersebut. Jangan pernah terbetik dalam hati, "Ah baru segini, target kita masih jauh." Sikap ini sama sekali tak membangun rasa optimis.

4. Bertawakal kepada Allah. Menyadari adanya satu kekuatan yang dapat menolong kita di saat kita menghadapi rintangan merupakan modal dasar yang cukup ampuh dalam membangun optimisme. Bertawakal tentu harus dilakukan bersamaan dengan upaya kita memperbaiki target dan strategi pencapaiannya.

5. Langkah terakhir kita perlu merubah pandangan kita terhadap diri sendiri dan kegagalan. Kita perlu lebih sayang dan menghargai diri sendiri. Jangan kita terus menerus mengejek diri sendiri. "Aku ini orang bodoh, tak bisa apa apa." Ini bukanlah sikap merendah, tapi merupakan sikap ingkar terhadap kelebihan yang telah Allah karunikan kepada kita. Wallahu’alam.




selengkapnya.....